Tewasnya Mallaby

Buku Teks: Sejarah Indonesia (Buku Siswa)

Halaman 153-154

Pada tanggal 27 Oktober 1945, terjadi kontak senjata pertama antara pemuda Indonesia dengan pasukan Inggris. Kontak senjata itu meluas sehingga terjadi pertempuran pada tanggal 28, 29, dan 30 Oktober 1945. Dalam pertempuran itu, pasukan Sekutu dapat dipukul mundur, bahkan hampir dapat dihancurkan oleh pasukan Indonesia. Beberapa objek vital yang telah dikuasai oleh pihak Inggris berhasil direbut kembali oleh rakyat.

Melihat kenyataan seperti itu, komandan pasukan Sekutu menghubungi Presiden Sukarno untuk mendamaikan perselisihan antara para pejuang Indonesia dengan pasukan Sekutu (Inggris) di Surabaya. Pada tanggal 30 Oktober 1945, Bung Karno, Bung Hatta, dan Amir Syarifuddin datang ke Surabaya untuk mendamaikan perselisihan itu. Perdamaian berhasil dicapai dan ditandatangani oleh kedua belah pihak. Salah satu kesepakatannya adalah untuk menjaga keamanan di Surabaya dan sekitarnya. Karena dirasa perlu terus dilakukan komunikasi antara kedua pihak, maka dibentuklah Kontak Biro yang anggotanya tokoh-tokoh dari Indonesia seperti Residen Sudirman, Dul Arnawa dan Sungkana, sedangkan dari pihak Inggris antara lain Mallaby dan Shaw. Namun, setelah Sukarno, Hatta dan Amir Syariffudin beserta Hawthorn kembali ke Jakarta, ternyata masih terjadi pertempuran di beberapa tempat.

Pada tanggal 30 Oktober 1945, dengan berkendaraan beberapa mobil, para anggota Kontak Biro berusaha menuju gedung Internatio yang masih terjadi kontak senjata. Pada saat itu, gedung ini diduduki oleh tentara Inggris. Arek-arek Surabaya mengepung gedung itu dan menuntut agar gedung itu dikosongkan. Kedatangan Kontak Biro yang di dalamnya ada Mallaby itu, membuat arek-arek Surabaya menuntut agar Mallaby dan tentara Inggris menyerah. Kebetulan hari itu sudah mulai gelap. Ketika itu rombongan Mallaby sedang berada di tempat perhentian trem listrik yang terletak beberapa belas meter sebelah utara jembatan meledak, waktu itu kira-kira pukul 20.30. Ternyata mobil yang ditumpangi Mallaby meledak dan ditemukan Mallaby tewas.

Tewasnya Brigjen Mallaby ini memancing kemarahan pasukan Inggris. Pada tanggal 9 November 1945, Mayjen E.C.Mansergh, sebagai pengganti Mallaby mengeluarkan ultimatum agar pihak Indonesia di Surabaya meletakkan senjata selambat-lambatnya jam 06.00 tanggal 10 November 1945. Inggris mengeluarkan ultimatum yang berisi ancaman bahwa pihak Inggris akan menggempur kota Surabaya dariDarat, Laut, dan Udara, apabila orang-orang Indonesia tidak mau menaati ultimatum itu. Inggris juga mengeluarkan instruksi yang isinya “….semua pemimpin bangsa Indonesia dari semua pihak di kota Surabaya harus datang selambat-lambatnya tanggal 10 November 1945 pukul 06.00 pada tempat yang telah ditentukan dan membawa bendera merah putih dengan diletakkan di atas tanah pada jarak 100m dari tempat berdiri, lalu mengangkat tangan tanda menyerah.”

 

Sardiman, A.M. & Lestariningsih, A.D. (2017). Sejarah Indonesia: Buku Siswa Kelas XI Semester II. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Pages 153-154
On the October 27, 1945, the first armed engagement between Indonesian youth and British troops took place. The armed conflict was widespread resulting in military combat on 28, 29, and 30 October 1945. In that battle, the Allied forces could be repulsed, and even almost destroyed by the Indonesian youth. Some of the vital object which have been controlled by the British were recaptured by the people.

Faced with such a reality, the commander of Allied forces contacted President Sukarno to reconcile the dispute between Indonesian combatants and Allied forces (British) in Surabaya. On October 30, 1945, Bung Karno, Bung Hatta, and Amir Syarifuddin came to Surabaya to reconcile the dispute. One of the agreements was to maintain security in Surabaya and surrounding areas. Because it was necessary to continue the communication between the two parties, then the Contact Bureau was formed, which members from Indonesian side among others were Resident Sudirman, Dul Arnawa, and Sungkana, while the members from British side among others were Mallaby and Shaw. However, after Sukarno, Hatta, and Amir Syarifuddin and General Hawthorn returned to Jakarta, there was fighting still occurred in several places.

On October 30, 1945, by driving several cars, the members of the Contact Bureau sought to reach the Internatio building that was still in armed fighting. At that time, the building was occupied by British troops. The youth of Surabaya surrounded the building and demanded that the building should be emptied. The arrival of the Contact Bureau, which includes Mallaby in it, made Surabaya’s youth demanding that Mallaby and the British army surrender. It happened when the day was getting dark. When the Mallaby party was located on electric tram stop, few meters in the north of Jembatan Merah, exploded. It was about 20:30. It turned out that Mallaby’s car was blown up and Mallaby found dead. The death of Brigadier Mallaby provoked the anger of British troops. On November 9, 1945, Major General E. C Manserg, as a Mallaby successor, issued an ultimatum for the Indonesian in Surabaya to lay down their weapons no later than 06.00 on 10 November 1945. The British issued an ultimatum containing the threat that the British would pound the city of Surabaya from the land, sea and air, if the Indonesian would not obey the ultimatum. The British also issued an instruction which said “…..all Indonesian leaders from all parties in the city of Surabaya must come no later than November 10, 1945 at 06.00 at the appointed place and carry a red and white flag placed on the ground at a distance of 100 meters from the place stood up, then raised a surrendered hand.”

 

Sardiman, A.M. & Lestariningsih, A.D. (2017). History of Indonesia: Student Textbook Grade XI Semester II. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan[Ministry of Education and Culture].