Insiden Bendera
Dokumen: Kesaksian DHD 45
Daftar Kesaksian :
9. Kesaksian Umar Usman
Halaman 1
Halaman 2
Halaman 3
Halaman 4
Halaman 5
Transkrip dan Translasi Kesaksian Umar Usman
Transkrip Kesaksian Umas Usman
4 Halaman
Translasi Kesaksian Umar Usman
4 Halaman
Cuplikan dokumen transkrip dan translasi
TRANSKRIP KESAKSIAN
UMAR USMAN
DHD 7 No. 069/IX/A/1945/1976
PERISTIWA PENYOBEKAN BENDERA
MERAH PUTIH BIRU MENJADI MERAH PUTIH
DIATAS ORANJE HOTEL
25 tahun yang lalu tepat pada tanggal 19 September 1945. Diwaktu pagi sekira jam 08.00. Kami seorang diri lari menuju ke Oranje Hotel dengan membawa senjata Takiari (bambu runcing). Sebabnya karena kami mendengar bahwa ada bendera Merah Putih Biru yang sedang berkibar di Oranje Hotel.
Pada saat itu kami sebagai Kepala B.K.R. daerah Kapasari yang sedang berada dirumah saudara IMAM SUPARDI. Kebetulan juga bahwa saudara IMAM SUPARDI kedudukannya sebagai Ketua Redaktur Penjebar Semangat, kami disodori sebuah rencong asli dari Sumatera, ditawarkan untuk sebagai senjata tapi pemberian tersebut kami tolak, karena sesuai dengan situasi pada saat itu yang digunakan oleh Masyarakat Surabaya adalah bambu runcing sebagai senjata. Lebih-lebih karena selain kami sudah dididik oleh Jepang cara menggunakannya, juga waktu kepanduan kami mahir memainkan toga dalam pencak silat.
Setibanya kami di Oranje Hotel disebelah kanan yaitu suatu Paviliun yang pada waktu itu dipergunakan sebagai Etalase penjualan minyak wangi. Ditempat itu berdirilah seorang pengawal Militer Jepang yang tiada bersenjata. Dan disekitar tempat tersebut hanya ada beberapa rakyat melihat-melihat keatas Oranje Hotel dimana Bendera Belanda dikibarkan.
Kemudian timbullah dari pikiran kami untuk menanya kepada pengawal Jepang, dan menyampaikan keinginan kami untuk naik keatas dimana Bendera Belanda berkibar. Akhirnya pengawal Jepang tersebut mencegahnya terhadap niatan kami itu.
Dengan spontan emosi kami tidak dapat kami kuasai, yang menyebabkan kami pecahnya Etalase beserta isinya kami obrak-abrik dengan bambu runcing. Setelah selesai mengobrak-abrik, kami mendorong pengawal Jepang tersebut kearah sisi pintu dimana kami akan lewat terus menuju ke trap yang akan naik ke loteng dimana bendera Merah Putih Biru sedang berkibar. Walaupun pengawal Jepang memperingatkan kami, namun kami sama sekali tidak menghiraukan larangan tersebut. Dan kami terus menuju ke tangga bagian atas lewat trap pavilion dengan diikuti oleh pengawal Jepang. Situasi pada saat itu disekitarnya ada beberapa orang tetapi hanya sebagai penonton saja.
TESTIMONY TRANSCRIPTION
UMAR USMAN
DHD 7 No. 069/IX/A/1945/1976
The incident of tore the flag
Red-White-Blue flag into Red-White flag
Above the Oranje Hotel
25 years ago, exactly on September 19, 1945. Early morning around 8.00. Me, myself, run to the Oranje Hotel carried Takiari [sharpened bamboo spear] as weapon. Because I heard that there was a red-white-blue flag waving in the top of Oranje Hotel.
At that time I was as the Head of BKR Kapasari area, visiting the house of brother Imam Supardi. Brother Imam Supardi was a chief editor of Penjebar Semangat, I was offered a rencong (traditional sword) from Aceh, Sumatera, as my weapon, but I refused. Because according to the conditions of that time, people of Surabaya prefer to use sharpened bamboo spear as a weapon. Especially since I have been trained by Japanese how to use it as weapon, also when I was as a scout skilful in using stick as weapon in pencak silat (traditional martial art from Indonesia).
When I arrived at the Oranje Hotel, in the right side of pavilion which was used as storefront to sell perfume. At that place, stood an unarmed Japanese military guard. Around that place some people looked over to the top of the Oranje Hotel, where the Dutch flag was raised.
Then came from our minds to ask question to the Japanese guard, and convey our desire to ascend to the top of the hotel where the Dutch flag was waving. Finally, the Japanese guard prevented our intentions. Spontaneously, we could not manage our anger, which caused us to break the store and devastated its contents by using sharpened bamboo. After we finished pass to the stairway to the top of the hotel, where the Dutch flag was located. Although the Japanese guard warned us, but we ignored his order. And we continued to the upper stairs through the pavilion ladder followed by the Japanese guard. The situation at that time there were so many people but as spectators only.
When we reached the attic over the pavilion, beyond our expectations, we saw an Allied soldier armed with sten gun stood in the corner of the attic. He knew that we have threatened the Japanese guard by using takiari [sharpened bamboo spear]. He looked scared, his face pale.